Menilik Sejarah Berdirinya Kabupaten Purbalingga dari Mangunegara

Menilik Sejarah Berdirinya Kabupaten Purbalingga dari Mangunegara
Menilik Sejarah Berdirinya Kabupaten Purbalingga dari Mangunegara

Putra Adipati

Pulau Jawa adalah wilayah agraris, petani, sehingga jaman dulu para pejabat sangat mengutamakan irigasi, sehingga kalau paring dhawuh, memberi perintah, seringnya untuk membuat atau memperbaiki bendungan dan saluran irigasi.

Dari kebiasaan jika ada perintah, dhawuh, pasti ngurusi bendungan maka kata dhawuhan menjadi nama hasil pekerjaan membendung sungai.

Adapun nama dusun-dusun di Desa Mangunegara adalah Dusun Mangunegara, Citrakusuma, Kucel, Jambangan, Serang, Ngebak, Pengalang-alangan, Kedempel, dan Karangmangu.

Bacaan Lainnya

Sejak tahun 1970-an Lurah Mangunegara Bapak Ngudihardjo memberi nama dusun; Mangunreja untuk wilayah yang dulu disebut Prapatan atau Pasar Karangnangka dan Besetan; Mangunharjo untuk wilayah pertigaan Mangunegara dekat Kucel; Mangunargo untuk wilayah Pengalang-alangan.

Nama lain yang diresmikan adalah makam. Makam di dusun Mangunegara diberi nama Makam Mangunkusuma, makam di dusun Citrakusuma diberi nama Makam Kusumanegara. Lapangan sepakbola diberi nama Lapangan Mangunjaya.

Nama Mangunegara dan Citrakusuma tidak lepas dari cerita Kadipaten Onje. Bahwa istri pertama Adipati Onje II, Adipati Anyakrapati adalah Dewi Pakuwati, putri Adipati Cipaku.

Cipaku adalah wilayah yang sejak kuno menjadi tempat para penguasa hadir menjelajah negeri. Di dukuh Pengebonan ada arca Ganesha simbol penguasaan pengetahuan, ada pula prasasti Batu Tulis sebagai catatan sejarah penanda kekuasaan.

Di dusun Bata Putih ada lingga dan yoni. Nama Cipaku sendiri mengingatkan nama-nama wilayah dalam Kerajaan Pajajaran; menggunakan awalan “ci”, seperti kebanyakan nama-nama di Tanah Pasundan.

Jadi Cipaku adalah sebuah kadipaten yang tentu punya nama besar di jamannya yang tidak main-main. Sebuah sungai yang berawal dari wilayah Cipaku, diberi nama Kali Paku.

Kali Paku mengalir ke timur, membelah Desa Mangunegara dan akhirnya bermuara di sungai Pingen, di Desa Onje.

Dari pernikahan antara Adipati Onje II dengan putri Pakuwati, menurunkan tiga orang anak yaitu Raden Mangunjaya, Raden Cakrakesuma dan Rara Banawati.

Sebagai putra-putri adipati maka ketiganya diberi tempat tinggal khusus. Ketiganya dibuatkan tempat mukim di sebelah barat Kadipaten Onje.

Raden Mangunjaya di sebelah utara Kali Paku, sekarang Dusun Mangunegara. Raden Cakrakesuma dibuatkan tempat tinggal di selatan Kali Paku, kini dikenal dengan nama Dusun Citrakusuma.

Dan Rara Banawati di selatan sungai Pingen dekat Sungai Klawing, kini sebagai Dusun Banawati.

Konon kedua putra adipati Onje ini sering bertengkar, sulit untuk saling mengalah. Suatu hari keduanya ingin sowan ke Onje, menghadap ayahnya Adipati Anyakrapati.

Keduanya naik kuda. Raden Cakrakesuma naik kuda untuk menjemput kakaknya di Mangunegara lebih dahulu, ia harus menyeberangi sungai Paku.

Lalu keduanya bertemu di Desa Mangunegara. Keduanya naik kuda menuju Onje lewat dusun Pengalang-alangan. Karena jalannya sempit maka kedua kuda tidak mungkin jalan berjajar.

Lalu sang adik menyarankan kakaknya jalan di depan. Alasannya yang tua harus mendapat kehormatan jalan di depan.

Kakaknya tidak mau. Justru menyarankan sang adik jalan di depan. Alasannya yang tua harus mengawasi yang lebih muda. Sang adik pun tidak mau di depan, karena tidak sopan yang muda membelakangi yang tua.

Karena desakan kakaknya, Raden Cakrakesuma yang lebih muda akhirnya mau berkuda di depan kakaknya. Supaya tidak membelakangi kakaknya maka Raden Cakrakesuma duduk di atas kuda dengan posisi menghadap ke kakaknya, seperti berjalan mundur. Sampailah keduanya di Onje.

Kebetulan ayahnya ada di depan pendapa kadipaten sehingga sempat memperhatikan polah kedua anaknya itu. Memperhatikan posisi duduk Raden Cakrakesuma, Sang Adipati tertegun. Sejenak melihat cara berkuda Raden Cakrakesuma. Setelah keduanya ada di depannya, sang Adipati Anyakrapati pun menegur keduanya.

“He, Cakrakesuma, melihat cara kamu naik kuda dengan posisi menghadap ke belakang, sehingga tampak seperti berjalan mundur, perilakumu itu seperti perilaku orang yang tidak waras. Dengarkan! Ingatlah bahwa nanti, setiap kali di dusunmu akan ada orang yang menderita seperti kurang waras!”  ucap Adipati Anyakapati kepada Raden Cakrakesuma.

“Dan kau, Mangunjaya! Karena kau berjalan di belakang maka akibatnya orang-orang di wilayahmu akan di belakang kemajuan orang-orang di wilayah adikmu!” imbuhnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *