Dorong Ubah Pola Pikir. Belajar Kelola Sampah Ke Amsterdam

sampah
sampah

Iuran sampah

Teknologi informasi juga diaplikasikan, contohnya dalam pembayaran iuran sampah, pelaporan dan lain sebagainya. Lebih lanjut, tempat sampah disediakan sensor yang akan memberitahukan otomatis saat kapasitasnya penuh yang diterima langsung oleh petugas sampah.

Kemudian, masyarakat juga mendukung dengan baik dengan kesadaran yang tinggi. Hampir tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Antar warga juga saling mengingatkan.

“Sejak dini orang tua juga mengingatkan anaknya tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya,” katanya.

Bacaan Lainnya

Masyarakat juga terbiasa belanja membawa kantong sendiri. Selain petugas resmi juga ada ambasador / relawan yang bekerja tanpa digaji untuk mengawasi dan menjaga kebersihan kontainer sampah.

Ubah pola pikir

Muhammad Kholik atau Kang Pherlee dari GPI menyampaikan apa yang disampaikan Torik bisa diambil pelajaran untuk diterapkan di Purbalingga. Pertama, harus diubah pola pikir bahwa sampah bukanlah musibah, tetapi berkah.

Kemudian, ada beberapa hal yang bisa ditiru dalam tataran lokal.  “Kalau soal teknologinya sudah super canggih, bukanya tidak bisa namun mungkin butuh waktu kita untuk meniru. Yang bisa diaplikasikan bagaimana kesadaran masyarakat yang tinggi sedari dini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Kang Pherle menggarisbawahi kebiasaan yang ditanam sejak dini di Amsterdam dimulai dari keluarga.

“Keluarga menjadi pemegang peranan penting dalam pengelolaan sampah yang selama ini berjalan dengan baik,” ujar pria yang sering menjadi pembicara di forum keayahan dan parenting.

Saat ini, katanya, masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tinggi. Contohnya, masih banyak yang buang sampah sembarangan, masih sedikit yang memilah sampah juga merasa gengsi untuk bergelut dengan sampah.

“Jangankan menjadi ambasador sampah, bekerja di sektor pengelolaan sampah saja dianggap kurang bergengsi, padahal kalau melihat paparan tadi sampah adalah ‘emas’ dengan nilai ekonomi yang juga tinggi,” ujarnya.

Kang Pherle sudah memulai upaya di GPI, Dukuh Pakedjen, Desa Karangjengkol, Kutasari. GPI bekerjasama dengan warga dan pemuda setempat mulai mengelola sampah organik menjadi kompos, budidaya magot dan memilah sampah non organik untuk didaur ulang.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *