TABLOIDELEMEN.com – Bagi masyarakat Purbalingga, Pendopo Dipokusumo tak sekadar berdiri sebagai bangunan pemerintahan yang kaku.
Masyarakat Purbalingga menjadikan pendopo ini sebagai titik temu berbagai kenangan, mulai dari perayaan pesta rakyat yang meriah serta pertemuan hangat guna menentukan nasib kabupaten.
Sehingga bangunan ini memegang peran vital sebagai jantung identitas daerah sekaligus penjaga memori kolektif warga.
Tentunya melampaui fungsi fisiknya sebagai kantor bupati; ia hidup sebagai ruang sosial yang merekam jejak sejarah.
Siapapun yang melintas di depannya akan merasakan aura kewibawaan yang berpadu dengan kehangatan budaya.
Terkait penamaan, Bupati Triyono Budi Sasongko meresmikan penggunaan nama “Pendopo Dipokusumo” pada rentang waktu kepemimpinannya, sekitar tahun 2000–2010.
Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal bangunan ini sebagai Pendopo Kabupaten.
Bupati Triyono memilih nama tersebut untuk merujuk pada gelar kebangsawanan para pendahulunya, mulai dari Raden Tumenggung Dipokusumo I hingga VI.
Langkah ini bertujuan memperkuat akar sejarah agar generasi muda tetap mengenal silsilah pemimpin yang pernah membangun daerah mereka.
Hingga era reformasi saat ini, pendopo ini membuktikan relevansinya dengan tetap berfungsi aktif.
Transisi dari masa kolonial menuju republik tak membuat bangunan ini kehilangan taringnya.
Nama Pendopo Dipokusumo Purbalingga

Pemerintah daerah tetap menggunakan pendopo sebagai pusat pengendali administrasi yang efisien.
Lebih dari itu, pendopo kini aktif memfasilitasi berbagai kegiatan edukasi dan kebudayaan.
Ruang ini menjadi saksi tumbuhnya gagasan-gagasan baru dan merawat nilai-nilai lokal.
Dengan demikian, pendopo ini berhasil merajut kesinambungan antara masa lalu yang penuh sejarah dan masa depan yang penuh harapan.
Sejarah mencatat, Raden Tumenggung Dipokusumo I atau Dipayuda III (Arsapusuma) memprakarsai pendirian kompleks ini sekitar tahun 1830.
Momen tersebut bertepatan dengan masa awal pembentukan identitas administratif Kabupaten Purbalingga.
Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda tengah menerapkan sistem Inlandsch Bestuur atau pemerintahan pribumi.
Belanda memanfaatkan figur tradisional seperti bupati untuk menjalankan kekuasaan kolonial secara tidak langsung.
Melalui strategi ini, pemerintah kolonial berupaya merangkul kepatuhan rakyat tanpa perlu turun tangan secara frontal.
Perancang tata kota masa itu menempatkan pendopo ini dengan perhitungan matang. Mereka menyandingkan bangunan ini dengan Masjid Agung dan alun-alun.
Susunan ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan strategi cerdas pemerintah kolonial yang meniru pola tata kota kerajaan-kerajaan Jawa.
Tujuannya jelas, mereka ingin mendapatkan legitimasi sah dari pandangan masyarakat lokal.
Kompleks ini mengadopsi konsep Catur Gatra Tunggal, sebuah filosofi tata ruang yang menyatukan empat elemen vital, pusat pemerintahan (pendopo), pusat ibadah (masjid), ruang publik (alun-alun), dan pusat ekonomi (pasar).
Secara arsitektur, pendopo ini mengusung nilai-nilai luhur budaya Jawa yang kental.
Struktur bangunan yang terbuka tanpa dinding pembatas melambangkan keterbukaan pemimpin terhadap rakyatnya.
Tiang-tiang penyangga atau saka yang kokoh menopang atap joglo, mencerminkan keselarasan antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta).
Orientasi bangunan pun mengikuti prinsip hubungan vertikal manusia dengan Tuhan serta hubungan horizontal antar sesama manusia.
Hingga kini, elemen arsitektur ini tetap bertahan dan mewakili wajah asli Kabupaten Purbalingga di tengah arus modernisasi.

Meletakkan literasi digital menjadi urgensi, sebagai upaya transformasi untuk menghasilkan talenta digital dan menjadi rujukan informasi yang ramah anak, aman tanpa konten negatif.
Baca update artikel lainnya di Google News















