“Karena beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadis Nabi Muhammad SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan,” tulis Gus Dur menyitir pendapat Kiai Faqih.
Bukannya tersinggung oleh artikel Kiai Faqih, Kiai Hasyim justru memanggil ulama se-Jombang dan para santri seniornya untuk berkumpul di Pesantren Tebuireng. Kemudian, beliau meminta agar tulisannya dan tulisan Kyai Faqih dibacakan.
Setelah itu, para ulama dan santri dibebaskan memilih kentongan atau beduk sebagai alat pemanggil shalat.
Sekali lagi, prinsip demokrasi dijalankan di sini. Kiai Hasyim menghargai ‘kebenaran’ yang diyakini Kiai Faqih dan tak memaksakan orang lain agar mengikuti ‘kebenaran’ yang diyakininya.

Menulis itu tidak selalu dengan paragraf-paragraf yang panjang. Menulislah tentang perasaan kita dan tentang apa yang ada dipikiran kita. Tanpa tersadar, kita sesungguhnya telah menulis.
Baca update artikel lainnya di Google News