Dulu Mangunegara dengan Citrakusuma menjadi dua pemerintahan desa. Lurahnya dua. Masjidnya dua. Namun kini dijadikan menjadi satu desa, Desa Mangunegara. Begini cerita nenek saya Dasiyem Wiryodiharjo.
Pilihan lurah atau sekarang disebut pilkades, Pemilihan Kepala Desa. Dulu tidak dikenal kepala desa, kenalnya lurah. Istilah kepala desa dan lurah, atau istilah Desa dan Kelurahan, kalau tidak salah, adalah produk Undang Undang No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Dulu tahunya ya hanya kelurahan, lurah dan penatus. Di atasnya Sisten dan Wedana. Yang dimaksud Sisten adalah Asisten Wedana, wakil Wedana. Tidak dikenal istilah Camat dan Kepala Desa. Ada istilah penatus, sebutan untuk lurah yang jumlah masyarakat di desanya lebih dari seratus kepala keluarga.
Bahkan ada yang disebut Panewu, yaitu jika jumlah masyarakat di desanya lebih dari seribu kepala keluarga. Seiring berjalannya jaman, rupanya ada keputusan pemerintah bahwa Kelurahan Mangunegara dan Kelurahan Citrakusuma harus digabung menjadi satu kelurahan. Bagaimana caranya? Siapa lurahnya? Pakai nama yang mana? Mangunegara apa Citrakusuma? Rakyatlah yang harus menentukan.
Diadakanlah pemilihan lurah dengan sistem yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Cara memilih belum pakai kertas dan gambar. Tapi dengan sistem bithing dan bumbung. Bithing dibuat dari bilah bambu, panjang sekitar 25 cm, berbentuk pipih, tebal sekitar tiga milimeter dan lebar lima milimeter. Setiap orang bisa membuatnya.
Agar tidak setiap orang punya bithing semacam itu maka bithing untuk pilihan lurah ini diberi warna. Separuh panjang bithing diberi warna merah menggunakan wenter pewarna. Wenter sendiri jaman dulu sebagai barang langka. Wenter, dulu, ada yang menyebutnya sebagai “beci”.
Lurah dari Mangunegara bernama Eyang Wangsawireja dan dari Citrakusuma Eyang Wangsawijaya. Tempat penyelenggaraan dilaksanakan di Kelurahan Mangunegara. Ada semacam krobongan sebagai bilik suara.
Dalam bilik ini tersedia delapan bumbung besar. Tiap bumbung yang dimaksud disini adalah sepotong bambu petung ukuran jumbo, satu ruas. Tutup ruas (ros) bagian atas dilubangi untuk dimasuki bithing. Tutup ruas bagian bawah dibiarkan utuh, untuk menampung bithing yang masuk.
Kedua lurah duduk di pendapa, di belakangnya ada beberapa ikat jagung, dan beberapa ikat padi. Jagung adalah simbol untuk lurah dari Mangunegara dan padi untuk lurah dari Citrakusuma. Di bilik suara juga sama, empat bumbung diberi simbol jagung dan empat bumbung berikutnya diberi simbol padi.
Jagung dan padi sungguhan bukan sekedar gambar. Nantinya rakyat tinggal memasukan bithing ke dalam bumbung lewat lubang yang selalu melongo.
Jika milih Eyang Wangsawireja maka bithing dimasukan ke bumbung yang ada jagungnya, bumbungnya dicat hijau. Jika memilih Eyang Wangsawijaya maka bithing dimasukan ke bumbung yang warna merah dan ada padinya.
Ketika pemilihan dimulai maka setiap orang yang dipanggil, segera datang mendekati bilik suara, diberi sebilah bithing dan masuk ke bilik. Di dalam memasukan bithing sesuai pilihannya. Bilik suara dibuat sedemikian rupa, dikrobongi sehingga tidak ada orang lain yang dapat mengetahui kemana bithing dimasukkan.
Untuk tanda bahwa pemilih telah selesai memilih maka ada petugas yang memukul kenthong. Ada bunyi “thong!”, begitu tampak seorang pemilih keluar dari bilik suara. Lalu pemilih berikutnya dipersilakan masuk.
Demikianlah pemilihan lurah jaman dulu. Kali ini pilihan lurah untuk penggabungan wilayah Mangunegara dengan Citrakusuma, pilihan pun berlangsung dengan tertib.(ditulis oleh Toto Endargo).

Menulis itu tentang mau atau tidak. Saya meyakini hambatan menulis bukan karena tidak bisa menulis, tetapi karena merasa tidak bisa menulis dengan baik
Baca update artikel lainnya di Google News