TABLOIDELEMEN.com – Saat itu kalau penduduk Citrakusuma pergi menuju ke Mangunegara harus menyeberangi Kali Paku.
Kali Paku jaman dulu masih berair bening, deras dan dalam. Untuk irigasi maka Kali Paku dibendung. Bendungan atau dawuhan dibuat dari tatanan batu kali dan gedheg.
Karena sungai dibendung maka jadilah sebuah lubuk, kedhung.
Kedhung tempat dawuhan yang menghubungkan Desa Citrakusuma dengan Desa Mangunegara ini, namanya Kedhung Keder.
Belum ada jembatan, sehingga setiap orang yang akan ke Mangunegara harus menyeberang, yang paling mudah adalah berjalan di atas bendungan, meniti dawuhan yang panjangnya sampai 20 meteran.
Karena dawuhan dibuat dari tatanan batu maka harus berjalan hati-hati, bahkan kadang harus melangkah dan meloncat dari satu batu ke batu yang lain.
Jalan lewat dawuhan bukan hal yang mudah jika air sungai sedang deras, terutama kesulitan bagi orang tua dan bagi orang sakit.
Salah langkah, salah injak batu yang berlumut, atau batu goyang, si penyeberang bisa jatuh di tengah dawuhan.
Alkisah setelah semua penduduk Mangunegara dan Citrakusuma dianggap telah menggunakan hak pilihnya maka dihitunglah bithing yang ada di masing-masing bumbung sesuai pilihan rakyat.
Nenek saya cerita kalau kegiatan ini adalah pilihan lurah, barangkali tepatnya adalah referendum atau jajak pendapat.
Proses pemungutan suara secara umum untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik, putusan tentang jabatan dan kekuasaan di tingkat desa.
Hasil perhitungan bithing ternyata hanya selisih satu. Penduduk desa yang memilih Eyang Wangsawireja, dan Eyang Wangsawijaya ternyata imbang. Selisihnya hanya satu bithing.
Konon selisih satu bithing ini karena ada satu pemilih dari Desa Citrakusuma yang ketika menyeberang sungai Paku di atas dawuhan Kedhung Keder, terpeleset dan jatuh sehingga memutuskan untuk tidak ikut dalam referendum.
Ketidak hadiran Nini Jewog yang berhalangan hadir, karena terpeleset di dawuhan inilah yang menjadikan Lurah Citrakusuma kalah.
Maka diputuskan bahwa Desa Citrakusuma berubah status hanya sebagai dusun. Desanya adalah Desa Mangunegara, lurahnya lurah Mangunegara, Eyang Wangsawireja.
Masih cerita nenek saya. Untuk meredam ketidakpuasan masyarakat yang tidak ikhlas bergabung dengan Desa Mangunegara maka diadakan peningkatan persaudaraan.
Barangkali memang jodohnya. Putra Lurah Citrakusuma dinikahkan dengan putri Lurah Mangunegara.
Dengan perkawinan ini maka masyarakat Citrakusuma semakin menyatu dengan masyarakat Mangunegara. Eyang Purwosarjono adalah figur dari pihak Citrakusuma, figur yang dinikahkan dengan putri trah Lurah Mangunegara.
Dari garis keturunan Eyang Purwosarjono ini yang sampai beberapa dekade menjabat menjadi lurah di Desa Mangunegara.
Demikian sekilas cerita dari nenek yang masih terngiang di benak.(ditulis oleh Toto Endargo)

Menulis itu tentang mau atau tidak. Saya meyakini hambatan menulis bukan karena tidak bisa menulis, tetapi karena merasa tidak bisa menulis dengan baik
Baca update informasi pilihan lainnya dari kami di Google News